BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Senin, 15 Juni 2009



Bel tanda bubar siswa-siswa SMA TOP sudah berbunyi beberapa menit lalu. Satu kelas masih berkutat dengan pelajaran tambahan, sebagian besar siswa sudah pulang, sebagian lagi masih berbetah-betah di sekolah.
"Ema, kamu akan datang ke pesta Ester, kan?" tanya Marlin saat keluar dari pintu perpustakaan, usai mengembalikan beberapa buku yang dipinjamnya.
"Entahlah," jawabku singkat. Sejak menerima kartu undangan dari Ester aku memang sudah ragu akan memenuhi undangan itu. Ada persyaratan dalam undangan itu yang nggak bisa kupenuhi. Undangan harus datang bersama pasangannya.
"Kamu nggak yakin karena nggak punya pasangan, kan? Kita ke lapangan basket dulu, yuk. Barangkali Doni bisa membantu," ajak Marlin.
Aku tak menolak. Di sisi lapangan basket Marlin memanggil Doni. Cowok itu datang dengan cepat sambil tersenyum. Keringat yang mengalir di lehernya mempertegas ketampanannya. Kupikir, alangkah cocoknya pasangan Doni dan Marlin. Yang satu cantik, satunya lagi seperti Arjuna.
"Kami punya kesulitan, barangkali kamu bisa membantu, Don. Tentang pesta Ester. Ema belum punya pasangan datang ke sana," tutur Marlin.
Doni menganggukkan kepalanya sebentar. Ia kemudian berteriak memanggil salah seorang temannya yang tengah bermain basket. Cowok yang tingginya sedikit di atas Doni datang menghampiri.
"Oki, kamu belum punya pasangan untuk ke pesta Ester, kan? Kebetulah sahabat Marlin juga belum punya pasangan. Oh, iya kenalkan namanya, Ema!"
Aku mengangguk kecil. Aku sudah tahu nama cowok itu karena cukup populer di telinga gadis-gadis. Ia juga anggota dream team basket sekolah seperti Doni. Kabar terakhir yang sampai telingaku, Oki baru putus dari gadisnya.
"Aku belum bisa memberi kepastian, Don. Bagaimana kalau kuberi jawabannya besok? Pesta itu masih seminggu lagi ini," sahut Oki sambil menyeka keringatnya.
"Tak masalah," timpalku.
Aku dan Marlin segera meninggalkan lapangan basket. Cukup panas juga udara siang ini. Herannya, Doni dan teman-temannya tetap tahan main basket. Barangkali karena itulah mereka jago memainkan bola basket itu.
"Aku nggak akan datang ke pesta Ester kalau kamu nggak datang, Ema," gumam Marlin menjelang pintu gerbang sekolah.
"Kamu nggak bisa begitu. Doni akan marah nanti."
"Oleh sebab itu kamu harus mau datang. Eh, itu Ester!" Marlin melambaikan tangannya ke seberang jalan. Ester berjalan menyeberang mendekati kami.
"Marlin, kamu harus membawa Doni ke pestaku nanti. Sekalian mengumumkan bahwa hubunganmu dan Doni serius. Habis sudah seminggu pacaran kamu jarang terlihat bareng dia di sekolah. Kamu juga harus datang. Aku penasaran ingin tahu siapa pasanganmu, Grandma," kata Ester kepadaku seraya mengibarkan sisa undangan di tangannya.
Aku cuma tersenyum. Di antara teman sekolahku, cuma Marlin dan barangkali Doni yang memanggil namaku dengan benar. Sisanya memanggilku dengan julukan kudapat sejak kelas satu, yakni Grandma alias Nenek!
"Kami akan datang, Ester. Tenang saja. Kamu sendiri akan berpasangan dengan siapa nanti? Alford, Lloyd, Peter...."
"Hermawan," Ester memotong kalimat Marlin. "Bukan anak sekolah kita. ia teman kuliah abangku di Swiss. Dia jauh lebih segala-galanya dari kunyuk-kunyuk yang kamu sebutkan tadi. Eh, sudah yah. Jemputanku sudah datang. Dah, Marlin, Grandma!"
Ester masuk ke dalam BMW yang menjemputnya itu meninggalkan kami.
"Kamu sudah berjanji pada Ester, itu berarti kita akan benar-benar datang," kataku kemudian.
"Memang. Pesta ulangtahunnya di Eldorado pasti akan ramai. Kamu sendiri kan pernah bilang belum pernah ke pesta ulangtahun teman-teman kita sebelumnya dan ingin sekali-kali melihatnya," Marlin mengungkit kalimatku dulu.
"Ya, tapi bukan pesta yang harus dengan pasangan. Kurasa kalau aku nggak datang pada pesta Ester, aku bisa melihat pesta ulangtahun teman kita lainnya."
"Sudahlah, kita tunggu saja kabar dari Oki besok," tepis Marlin sambil mencegat angkutan umum. Kami berpisah karena tujuan kami berlawanan arah. Padahal aku masih ingin mengucapkan sebuah kalimat; kamu baik sekali padaku, Marlin.

***

Ketika aku mendengar kabar bahwa Oki nggak bisa menjadi pasanganku di pesta ulangtahun Ester, aku nggak merasa sedih maupun kecewa. Aku sudah menduga sebelumnya. Mana mungkin salah seorang anggota dream team mau menjadi pasangan seorang gadis yang berkacamata dengan bingkai tebal, rambutku yang panjang cuma dikepang tanpa hiasan pita ataupun bando, dan sama sekali nggak populer di sekolah.
"Tenang, Ma. Aku sudah mempersiapkan pengganti Oki," hibur Marlin di saat istirahat. "Semalam aku sudah ngobrol dengan kakakku. Ia kebetulan tak punya acara malam Minggu nanti."
"Kakakmu bersedia? Itu kan karena ia belum mengenalku. Kalau ia tahu aku, pasti ia akan membatalkan kesediaannya itu."
"Kamu juga belum mengenalnya, kan? Jadi jangan sembarangan menudingnya sama seperti Oki. Kakakku baik. Sebagai mahasiswa, meski baru tingkat dua, ia sudah bisa berpikir dewasa, dapat menilai mana gadis yang pantas menjadi pasangannya ke suatu pesta," Marlin kelihatan agak sewot.
"Maaf, bukan maksudku menuduh kakakmu sejahat itu. Tapi yang jelas, aku dan kakakmu belum saling mengenal," kataku buru-buru.
"Bagaimana kalau pulang sekolah nanti kamu ke rumahku dulu? Hari Selasa kakakku nggak ada kuliah," usul Marlin.
Aku mengangguk setuju. Sebenarnya aku agak kuatir dengan rencana Marlin. Yang kukuatirkan, bisa saja kakaknya itu mau memenuhi permintaan Marlin lantaran setengah dipaksa. Kepergian kakak Marlin denganku nanti nggak tulus. Namun untuk menolak rencana Marlin aku nggak sanggup. Ia pasti sudah setengah mati berupaya mencari pasangan untukku.
Pulang sekolah aku langsung ke rumah Marlin. Ini kunjungan pertamaku ke rumahnya, sejak kami bersahabat empat bulan lalu saat kami duduk sebangku di kelas dua. Bisa jadi ini juga untuk pertama kalinya aku mengunjungi rumah teman sekolahku.
Sejak dulu aku memang menutup diri. Setiap ada acara kelas yang mengharuskan kumpul di rumah salah seorang temanku, aku tak pernah datang. Entahlah, aku tak merasa kehadiranku akan berarti apa-apa. Ada aku ataupun nggak semuanya akan berjalan lancar. Begitu pun dengan kegiatan di sekolah. Di kelas satu aku cuma ke sekolah untuk belajar, begitu bel pulang berbunyi aku langsung pulang ke rumah.
"Pasti cucumu di rumah banyak sekali yang harus kamu urus," begitu komentar teman-temanku di kelas satu. Dan satu persatu mereka mulai memanggilku Grandma. Mulanya aku agak risih, tapi lama kelamaan terbiasa juga.
Tapi sejak aku mengenal Marlin, sedikit demi sedikit aku mulai berubah. Dengan segala kebaikannya, Marlin mulai membuka diriku untuk mau sedikit peduli dengan sekelilingku. Ia beberapa kali mengajakku melihat pertandingan basket di sekolah, mengajakku ke kantin dan ngobrol dengan teman-temanku yang lain.
"Ini kakakku, Ema. Namanya Budi Sutanto. Aku memanggilnya Kak Budi tersayang," ucap Marlin setelah beberapa menit membiarkan aku duduk sendirian di ruang tamu. Bersamanya, seorang cowok mendekatiku dan menjabat tanganku.
"Nama saya Ema...." Aku agak gugup menyebut namaku sendiri. Sebelum tiba di rumah Marlin, aku sudah berpikir kalau Marlin sudah secantik bidadari, pasti kakaknya akan setampan pangeran. Tapi bayangan yang ada di benakku ternyata jauh sekali. Kakak Marlin lebih tampan dari seorang pangeran yang pernah kubayangkan. Itulah yang membuatku tiba-tiba saja ingin segera pulang dan menyesal mengenalnya.
"Nah, kalian ngobrol saja dulu. Buat janji bagaimana rencana untuk pergi nanti. Aku mau ganti pakaian dulu." Marlin meninggalkanku.
Aku jadi ingin tahu apa yang pantas diucapkan seekor itik buruk rupa bila bertemu dengan seorang pangeran.
"Marlin banyak cerita tentang kamu. Katanya kamu cerdas. Kamu sering mengajarinya pelajaran-pelajaran yang nggak ia mengerti," kata Budi membuka percakapan. Ia menatapku lekat-lekat, membuatku semakin tak berani melihat wajahnya.
"Marlin terlalu melebih-lebihkan. Justru Marlin yang baik pada saya, Kak Budi. Saya nggak tahu kalau Tuhan nggak memperkenalkan Marlin pada saya."
"Yang pasti kita nggak akan bisa kenalan dan pergi ke pesta ulangtahun teman kalian itu," sahut Budi. Menyesalkah ia?
"Soal pesta itu, saya tak keberatan kalau ternyata Kak Budi ingin membatalkannya," kataku kemudian.
"Aku sudah berjanji pada Marlin. Lagipula akan menyenangkan jika pergi ke sebuah pesta dengan gadis SMA secerdasmu. Atau kamu yang keberatan, Ema?"
Aku terdiam. Apa yang memberatkanku sekarang? Paling persiapan batin karena aku yakin nanti semua mata di pesta akan memandangku aneh. Lihat, Grandma ternyata punya seorang cucu yang jadi pangeran, komentar mereka. Dan aku tentu saja harus siap mendengar itu. Atau yang lebih menyakitkan sekalipun. Daripada aku harus membuat Marlin kecewa. Bukankah ia selalu serius dengan ucapannya, sedang ia sudah berjanji tak akan pergi ke pesta itu bila aku nggak pergi.
"Aku akan menjemputmu jam tujuh. Pesta itu mulai jam delapan, kan? Aku sudah memperhitungkan waktu perjalanan ditambah kemacetan jalan sekitar Eldorado nanti," kata Budi lagi.
Aku mengangguk. "Mudah-mudahan Kak Budi nggak repot karena saya," kataku kemudian.
Marlin muncul tak lama kemudian. Ia menanyai kakaknya soal rencana ke pesta itu. Aku memberitahu bahwa kami sudah membuat janji.
"Bagus. Kalau begitu beres, aku juga bisa membuat janji dengan Doni besok. Oh, iya bagaimana kalau pulang sekolah besok kita cari kado buat pesta ultah Ester?" ajak Marlin.
"Bisa aja," jawabku cepat. Dan aku juga mungkin akan membeli gaun yang pantas untuk pergi bersama Budi nanti. Belanja bersama Marlin mungkin akan membantuku untuk memilih mana gaun yang pantas untukku.

***

Rabu siang sepulang sekolah aku dan Marlin melaksanakan niat untuk belanja lebih dulu. Aku nggak nyangka kalau Budi akan menunggu kami di gerbang sekolah. Dengan mazda putihnya ia mengantar kami ke Bandung Indah Plaza. Sebenarnya itu keterlaluan. Jarak sekolahku ke Jalan Merdeka tak sampai dua kilometer.
"Biar saja Kak Budi mengantar kita. ia harus terbiasa bersamamu, Ema. Kamu akan merasa janggal tiba-tiba pergi ke suatu pesta dengan mahkluk asing, bukan?" gumam Marlin seperti membaca pikiranku.
Tapi Marlin tak membiarkan kakaknya terus menguntit kami. Menurunya, Budi tak boleh tahu gaun apa yang akan kupakai nanti. Kurasa benar juga apa yang dikatakan Marlin.
Ada tiga gaun yang kusukai. Marlin membantu menentukan mana gaun yang terbaik untukkku. Sebuah gaun berwarna biru pastel akhirnya kubeli. Sementara Marlin membeli gaun dengan warna yang lebih cerah.
Usai belanja Budi kembali bergabung bersama kami. Sambil menikmati ayam dan kentang Texas, kami ngobrol banyak sekali. Tepatnya, Budi dan Marlin berusaha membuatku banyak bercerita karena mulanya aku cuma jadi pendengar setia saja.

***

Dan hari ini, sepulang sekolah untuk pertama kalinya aku mengajak Marlin ke rumahku. Kubawa ia langsung ke kamarku.
"Astaga kamarmu besar sekali. Cuma seharusnya kamu punya ruang sendiri untuk buku-bukumu ini, Ema," komentar Marlin. Ia tersenyum ketika membaca beberapa buku psikologi populer tentang remaja gaul.
"Aku tertarik membelinya sejak bersahabat denganmu," kataku.
Sesuai janji, aku mencoba gaun yang kubeli kemarin. Gaun itu pas untukku, tapi rasanya ada yang janggal ketika aku bercermin.
"Rambutmu lepas dulu, Non. Kamu nggak bisa ke pesta dengan rambut dikepang begitu. Biarkan rambutmu terurai," saran Marlin.
"Bagaimana kalau disanggul kecil saja. Rambutku terlalu panjang bila digerai. Jangan-jangan nanti aku dikira kuntilanak."
"Bagaimana kalau dipotong? Jangan terlalu pendek, aku juga tak akan setuju. Kebetulan Sabtu siang aku juga punya rencana ke salon."
Aku berpikir sebentar. Kalau Nenek masih ada, pasti ia akan melarang. Tapi sejak kepergiannya ke surga dua bulan lalu tak ada lagi yang membantu mengurus rambutku ini. Nenek pasti tak akan marah kalau kupotong rambutku.
"Baiklah," kataku akhirnya.
"Percayalah, kau pasti akan kelihatan lebih cantik. Dan teman-teman pasti akan iri melihatmu, Ema."
Benarkah? Benarkah aku menjadi cantik? Ah, bagiku yang terpenting bisa menjadi pasangan yang tak terlalu mengecewakan Budi nanti.
Setelah melepas kembali gaunku, aku duduk berdua di atas tempat tidurku dengan Marlin. Mata Marlin menatap tajam ke arahku. Aku yakin ada sesuatu yang ingin diceritakannya.
"Aku ingin menceritakan sesuatu tentang kebaikanku selama ini. Mungkin kau sering menanyakan itu dalam hati," kata Marlin kemudian.
Aku mengangguk. Marlin tak lantas melanjutkan ceritanya. Ia malah mengeluarkan selembar foto dari tasnya. Wajah seorang cowok berkacamata dengan gagang hitam dan tebal, rambutnya tak berbentuk, dan... meski aneh tapi sekilas aku mengenalnya.
"Ini foto kakaku tiga tahun lalu, waktu ia masih SMA. Teman-teman sekelasnya memanggil kakakku dengan julukan Gepetto. Kamu tahu kan tukang kayu yang membuat Pinokio? Dan tak pernah ada gadis yang mau pergi dengannya pada suatu pesta kelas. Waktu itu aku masih kelas dua SMP. Kebetulan aku agak bongsor, jadi aku tak keberatan ketika kakakku minta aku mendampingi ke pesta yang harus didatanginya itu."
Marlin diam sejenak menghela napas. Matanya menerawang ke langit-langit.
"Tapi dasar kakakku terlalu tak acuh dengan penampilannya. Meski aku telah menyarankannya untuk rapi sedikit, ia menolak. Akibatnya di pesta itu kakakku diolok-olok habisan. 'Lihat, Gepetto berhasil mengajak seorang Peri' dan lain-lainnya. Dadaku sakit mendengar olok-olok itu. Aku menangis di rumah dan berjanji untuk mengubah penampilan kakakku." Mata Marlin basah oleh emosinya.
"Pada mulanya aku mengalami kesulitan. Namun sewaktu diam-diam kutahu ia mulai naksir salah seorang gadis, akhirnya ia mau juga mengubah dirinya. Kacamatanya diganti, rambutnya dipotong sesuai dengan wajahnya, kuganti majalah ilmiahnya dengan majalah-majalah populer. Waktu itu dunia seperti terbalik, aku jadi kakaknya dan ia jadi seorang adik yang penurut."
Dapat kubayangkan seperti apa kejadiannya. Tentu tak jauh seperti yang kualami.
"Tak lama kemudian telepon teman-teman ceweknya mulai berdatangan. Kak Budi sempat memacari gadis yang ia taksir itu, tapi putus lantaran ternyata gadis itu cuma menyukai ketampanan kakakku saja. Sampai sekarang ia belum pacaran lagi. Bagiku itu tak masalah, asalkan ia tak lantas kembali seperti Gepetto lagi. Astaga, kamu menangis, Ema!"
Aku menyeka airmata yang jatuh tanpa kurasakan. "Bagaimana aku tak terharu, Marlin. Di depanku kini ada seorang peri yang nggak cuma baik terhadap kakaknya, tapi juga sahabatnya. Bagaimana aku mesti membalasmu kelak?"
"Kalau tak keberatan, cukup dengan memberi respon pada kakakku. Sejak mengenalmu dulu, aku sudah menceritakan tentangmu pada Kak Budi. Ia tertarik untuk berkenalan denganmu. Tapi kupikir itu belum waktunya. Sampai kemarin-kemarin ini. Kamu tahu apa komentarnya setelah kita ngobrol di Texas. Katanya, kamu nggak cerewet, tapi sekali ngomong benar-benar bermutu. Kakakku memang suka tipe gadis cerdas sepertimu."
"Pasti ia banyak menemukan gadis seperti itu di kampusnya," timpalku berusaha untuk menahan perasaanku.
"Mungkin saja. Aduh, Ema, apa kamu selalu membiarkan tamumu mati kehausan?"
Aku tergelak mendengarnya.

***

Jangan tanya seperti apa perasaanku ketika mematut diri di depan cermin usai berdandan. Aku jadi tahu seperti apa takjubnya Cinderela ketika Peri Biru membantunya agar dapat pergi ke pesta istana.
Mama yang melihatku begitu aku keluar kamar terpana beberapa detik. Ia seperti nggak mengenalku pada mulanya.
"Ema! Benarkah ini anakku? Kamu benar-benar berubah, Ema," Mama merangkulku hati-hati. Takut membuat gaunku kusut.
Aku menunggu kedatangan Budi di ruang tamu ditemani Mama dengan cemas. Setengah jam lalu Marlin sudah memberi kepastian lewat telepon kakaknya akan menjemputku.
Kulalui penantianku dengan mengamati jarum jam dinding. Ketika waktu menunjukkan pukul tujuh lebih lima menit kecemasanku berubah bentuk. Batalkah Budi menjemputku? Aku mencoba untuk bersabar.
Kesabaranku benar-benar berubah ketika lima belas menit kemudian berlalu tanpa bunyi bel sekalipun. Mama yang melihat kegelisahanku lantas meremas jemariku.
"Bersabarlah, Ema. Barangkali ada sesuatu yang menghambat perjalanannya. Mama yakin akan ada seorang pangeran yang datang untukmu malam ini," hibur Mama sambil mengelus rambutku.
Ucapan Mama ternyata benar. Semenit kemudian bel rumah berbunyi. Aku terkejut ketika membuka pintu mendapatkan Budi dalam sosok yang lain.
Sisiran rambutnya berantakan, lengan bajunya kusut bekas digulung, dan mukanya berpeluh.
"Maaf aku terlambat, Ema. Ban mobilku meletus di tengah jalan. Terpaksa aku menggantinya lebih dulu. Dasar aku kurang ahli, tanganku sampai belepontan Cuma untuk mendongkrak dan mengganti ban saja," ucapnya membuatku tersenyum.
Aku memaklumi alasan itu. Kubawa ia ke dalam rumah untuk kukenalkan pada Mama. Budi sempat pula ke kamar mandi untuk merapikan kembali dirinya.
Dalam hatiku mulai kurasakan sesuatu yang tak biasa sejak mendengar kalimatnya tadi. Ia mau berkorban untukku seperti itu. Sikap yang benar-benar menyentuhku dan mampu mengubah kekagumanku yang mulanya kutujukan pada sosoknya, kini lebih tertuju pada pribadinya.
"Ema, aku bisa minta tolong padamu? Terus terang aku yang lagi kesulitan," ucap Budi sesaat setelah kami berada dalam mobilnya.
"Kak Budi sudah mau menolong saya, masak saya nggak mau sih? Tentu saja kalau saya mampu. Boleh saya tahu, apa yang bisa saya bantu?"
"Ada teman kuliahku yang akan tunangan minggu depan. Dia mengundang semua temannya, cuma dengan satu syarat. Undangan harus datang dengan pacarnya, bukan sekadar pasangan bohongan. Bisa saja aku mengajak Marlin, tapi temanku itu sudah tahu Marlin adikku. Kamu keberatan kalau kujemput malam Minggu depan sekali lagi? Tentu saja aku nggak akan mengulangi ketololanku malam ini, datang terlambat."
"Baiklah, saya tak keberatan. Bila ternyata Kak Budi menemukan pasangan untuk ke pesta itu selain saya, saya tak juga keberatan bila kemudian kak Budi membatalkannya," jawabku segera. Aku tak ingin terlalu banyak berharap. Tuhan sudah mengutus seseorang untuk menjemputku ke pesta malam ini saja aku sudah bersyukur.
"Aku nggak akan mengubah ajakanku ini. Kamu mau tahu sebabnya. Lantaran malam ini kamu kelihatan cantik sekali!" puji Budi sambil menatapku sekilas.
Aku tak kuasa menahan perasaanku. Pujiannya sanggup membuatku melayang. Heran, padahal saat Mama mengatakan kalimat serupa tadi, perasaanku tak terombang-ambing begini? Apa artinya ini ya? ©

0 komentar: